Electricity Time Machine

Aku menggoyang-goyangkan jam tangan yang ada dalam genggamanku. Akung—kakekku—baru saja memberikannya padaku beberapa menit yang lalu ketika aku berpamitan pulang dari kunjungan singkatku.

Meninjau dari warna dan modelnya, memang bukanlah tipe jam yang ‘Wah’ namun tentu saja bukan murahan. Warnanya berdominan silver dan putih dengan aksen kuning keemasan. Tanggal di bagian tengah sedikit ke kanan, juga turut menyertai jam ini.

Jam ini mati, mungkin besok aku bisa meminta Papa untuk membawanya ke tukang jam. Hmm… atau mungkin ada tombol yang bisa aku tekan agar jam ini menyala?

Aku meraba jam ini dengan jempolku lalu menekan sebuah tombol pertama yang aku rasakan.

Tidak ada yang terjadi.

Tunggu.

Aku merasa sedikit pusing.

Hap!

Aku merasa diriku terpelontar ke alam lain. Badanku terasa sakit akan dahsyatnya kekuatan tersebut.

Aku mencoba menelisik sekitar.

Wait, is this my Grandpa’s house when he was still a child? I must be in Blunyah, Jogja then.

Semua orang yang ada di sini tetap beraktivitas tanpa ada yang menghiraukanku. Sepertinya aku tembus pandang.

Aku bergidik ngeri akan pikiranku sendiri.

Blunyah pada tahun ini, entah tahun berapa sekarang, sangatlah berbeda dari Blunyah yang terakhir kali aku kunjungi di penghujung tahun 2019. Sekitar rumah Akung masih penuh dengan pohon-pohon, dan itu pasti jalan setapak menuju sungai yang melegenda dalam cerita keluarga. Karena malam sudah menjelang, jalan setapak tersebut nampak sangat gelap.

Aku menolehkan kepala untuk melihat rumah dengan pencahayaan remang-remang lampu teplok. Rumah tersebut dibangun dari kayu, lantainya pun masih dari tanah.

Setahuku, di tanah milik keluarga Akung terdapat dua rumah. Satu yang dialiri listrik dan satu lagi masih berupa rumah gedek. Rumah yang menggunakan listrik pun masih tanpa peralatan yang modern. Hanya sekadar beberapa barang elektronik seperti lampu.

Di atas meja, terdapat lampu yang biasa disebut lampu Aladin. Lucu ya namanya. Papaku pernah berkata lampu Aladin ini hanya digunakan (di zaman papaku) saat mati listrik saja, itu pun jarang.

Jujur aku masih belum terbiasa dengan penerangan yang remang ini. Jadi seperti sulit melihat rasanya.

Penasaran deh bagaimana cara orang zaman dahulu bisa baca buku dengan pencahayaan minim tanpa merusak mata mereka.

Sedang asik merenung. Aku tidak menyadari ada orang yang berjalan mendekat. Tatapannya seperti menusuk pandanganku. Oh tidak, jangan-jangan aku telah mengganggu. Aku melangkah mundur. Ingin kabur tapi tak punya keberanian.

Orang itu masih terus berjalan ke arahku.

Semakin dekat.

Semakin tidak berjarak.

Segera aku menggerakkan lenganku untuk menghalau orang yang hampir menabrakku.

Ups, lupa kalau aku tidak dapat dirasakan kehadirannya oleh yang lain.

Mungkin ia melihat sesuatu di belakangku.

Oh ternyata jam silver-putih dengan aksen keemasan sudah melekat di pergelanganku. Masih mati. Tapi kapan aku memasangnya?

Okay I’m panicking.

Beserta dengan kekalutan yang menyeruak, aku pun kembali terlempar ke masa lain.

Kepalaku terasa pening.

Argh bisa tidak sih kalau mau membuatku berpindah tempat beri pemberitahuan terlebih dahulu? Setidaknya aku kan bisa bersiap.

It’s day now. No more darkness.

I’m in Jakarta. I supposed it’s not so far from the year when I was in Jogja.

I know my Grandma’s house was in Jakarta, which is here. But which one?

Benar, ini benar Kebayoran Baru kok. Hanya saja versi lebih hmm.. sepi?

Aku berjalan di Jalan Langsat. Hanya ada beberapa mobil beserta andong (kereta berkuda) yang lewat. Penerangan di jalan juga tidak seterang dan sebanyak sekarang. Masih terdapat banyak pohon-pohon rindang di tepi jalan.

Uti—nenekku—sering bercerita mengenai keseruan masa kecilnya. Mulai dari naik andong atau naik sepeda ke sekolah. Berhenti di tengah jalan untuk bersinggah di sungai (Yes, guess what dulu di Jakarta ada sungai yang masih bersih!). Saking sepi tanpa polusi dengan waktu bebas yang banyak (tanpa elektronik seperti gadget), Uti bisa mengayuh sepeda dari Jakarta Selatan-Jakarta Pusat-Jakarta Timur. That’s amazing!

Aku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang luas. Aku melihat pohon-pohon yang selama ini Uti ceritakan dipenuhi sepeda-sepeda yang digetakkan begitu saja di bawahnya. Pasti ini punya teman-temannya Uti yang dititipkan.

This should be the house.

Aku melihat ada seseorang yang tak kukenali sedang mengangkat jemuran. Kain-kain itu terlihat baru saja dikanji. Uti pernah bercerita, segala cucian pada masa kecilnya dicuci manual menggunakan tangan, dan akan dikanji setelahnya. Karena beban cucian yang banyak tanpa mesin cuci, anak-anak Eyang Yut akan mencuci seragam sekolah mereka masing-masing.

Karena aku tidak dapat dilihat orang lain, tidak ada salahnya kan kalau aku main masuk ke dalam rumah?

Aku melihat Eyang Yut Putri sedang memasak di dapur. Tidak banyak barang elektronik semacam blender, mixer, rice cooker, dan lainnya seperti di dapur Utiku sekarang.

Kebanyakan masakan yang dibuat merupakan hasil jerih payah tangan.

Lampu-lampu di rumah ini sudah modern untuk zamannya. Lampu-lampunya tergantung dengan rantai yang menjulang dari langit-langit dan mengeluarkan cahaya berwarna kuning.

Aku mengintip ke dalam kamar. Tentu saja tanpa AC, Jakarta tahun ini tidak sepanas sekarang. Jendela-jendelanya juga dibuat agar angin dapat mudah masuk. Sama sekali tidak terasa pengap di rumah ini.

Alat komunikasi elektronik yang ada hanya berupa satu telepon rumah. Sisanya bila ingin memberikan pesan bisa lewat tulisan (surat) atau dari mulut ke mulut.

Di ruangan, yang entah dinamakan apa ini. Aku menyaksikan Uti beserta adik-adiknya sedang melakukan kegiatan-kegiatan seru.

Uti bilang, dulu walaupun hidup tanpa ponsel. Semua orang masih bisa berkomunikasi dengan baik dan masih banyak hal-hal lain yang bisa dilakukan. Seperti memanjat pohon, membuat kue, menjahit, belanja di pasar diantar tukang becak, pergi ke kebun, bermain ke rumah tetangga/saudara, dan masih banyak lagi. Yang jelas tidak kalah seru dengan zaman sekarang.

Aku dapat merasakan kehangatan yang ada dalam rumah ini, aku memerhatikan Uti saling besandau gurau dengan adik-adiknya tanpa memerlukan keberadaan berbagai alat elektronik. Berbeda denganku yang seringnya saat berkumpul dengan keluarga, sulit untuk lepas dari ponsel. Justru seringnya kami main bersama melalui game yang ada di gadget tersebut.

Mataku mulai terasa berat melihatnya. Aku tidak dapat melawan rasa kantuk hingga akhirnya…

Gelap.

Aku terlelap.

•••

Suara televisi membangunkanku dari tidur. Aku tersadar di atas sofa ruang tengah rumah Dharmawangsa, rumah masa kecil mamaku.

Televisinya masih berupa layar kaca dan tebal, tv tabung namanya seingatku. TV ini menayangkan video kaset.

Lampu neon dan pijar terpasang di langit-langit. Kuyakin wattnya bisa mencapai puluhan watt sendiri untuk bisa menerangkan seterang ini.

Aku beranjak dari sofa lalu mendekati kamar mamaku. Aku dapat mendengar suara AC window yang berisik dari dalam. Kubuka pintu kamar dan menemukan mama yang masih berumur sekitar 10 tahun sedang membaca buku seraya mendengarkan, entah apa, dari walkman.

Tidak mau mengganggu lebih lanjut, aku segera pergi menuju dapur. Di dapur sudah ada beberapa peralatan elektronik seperti kulkas, microwave, oven, dan blender. Tapi aku tidak melihat keberadaan rice cooker dan dispenser.

Suara organ (semacam keyboard (piano)) masuk ke dalam telinga. Sepertinya Bude sedang berlatih bermain alat musik tersebut.

Aku menemukan radio di ruang lainnya, entah dinamakan apa ruang ini. Kenapa rumah zaman dulu banyak yang luas seperti ini? Kurasa ukurannya mencapai 3 kali lipat dari rumahku saat ini.

Seperti dugaanku, aku akan menemukan banyak sekali buku. Mamaku berkata inilah hiburan dan sarana belajarnya.

Telephone yang ada hanya telephone rumah saja, paling-paling ada telephone umum di luar sana.

Aku kembali ke ruang tengah. Ternyata sudah pada berkumpul di sini untuk bermain game Atari.

Aku melihat mama, pakde, dan bude yang seru dengan gamenya.

Aku mendekat untuk mengamati lebih jelas.

Tapi semakin aku mendekat, badanku terasa tertarik ke dalam televisi. Cahaya yang menyilaukan, membuatku tak bisa melihat jelas ada apa gerangan yang terjadi.

Lalu…

Aku keluar dari sebuah komputer.

Aku mengerjapkan mata menyesuaikan dengan pencahayaan yang baru.

This house looks like rumah Rawamangun before got renovated.

Oh it is. Aku melihat beberapa benda dengan inisial papaku.

Aku melihat tanggalan yang tertera pada layar komputer. 1997.

Seharusnya Papa sudah kuliah saat ini.

Hebat juga aku bisa melompati waktu sekitar 10 tahun dalam seperkian detik.

Nit! Nit!

Bunyi pager! Wow, I never saw a working legendary pager! 

Aku sering dibuat penasaran dan rasanya ingin sekali mengalami masa-masa remaja-new adult di tahun 90an dan 2000an awal. Seringnya sih karena banyak menonton dan baca cerita dengan latar waktu tersebut.

I would really had fun in this timeline!

Di masa ini, teknologi sudah cukup berkembang. Tapi tidak seperti sekarang yang apa-apa serba berteknologi.

Contohnya ponsel yang hanya bisa untuk menelpon. Dan seandainya sudah menggunakan ponsel yang bisa SMS hanya dapat mengirimkan pesan maksimal 150 karakter. Bahkan harga nomor handphonenya bisa mencapai ratusan ribu!

Aku memilih untuk keluar dari kamar papaku.

Oh, sudah ada dispenser untuk air dingin dan panas! Barang yang tidak aku temukan di rumah mamaku sebelumnya.

Aku isang mengintip ke ruang belakang. Sudah ada mesin cuci juga ternyata! Yaa.. walaupun mesin cuci 2 tabung.

Lalu aku membawa diri menuju ruang depan, dimana aku melihat tempat listrik yang sikringnya masih diputar. Kuyakin belum ada listrik voucher pada masa ini.

“Dis! Adis!”

Apakah keluargaku bisa melihatku di sini? Bagaimana mereka bisa mengenaliku tapi? I wasn’t even born yet in this era.

“Adistra, bangun yuk. Katanya mau pulang.”

Bangun?

Selanjutnya yang aku ingat, aku berada di karpet ruang depan rumah Rawamangun—sudah direnovasi tentunya—dengan mata setengah terpejam.

Jadi ini hanya mimpi? At least it’s a pleasant one.

Aku memandang lenganku. Ada jam pemberian Akung melingkar dengan indah.

Aku tersenyum.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *