Uti–nenekku—pernah bercerita tentang bagaimana menyenangkannya masa muda beliau, tanpa gadget atau barang-barang elektronik lain. Selalu menyenangkan mendengarkannya, seakan aku pindah ke era lain. Ia pernah bercerita tentang masa sekolahnya di jakarta dulu, “Jakarta tidak seperti sekarang.” katanya “Dulu di sungai dekat rumah Uti, kamu tahu kan yang mana, dulu masih bersih, masih banyak yang nyuci pakaian disitu, Uti setiap pagi sebelum berangkat sekolah selalu cuci baju dulu walaupun bukan di sungai ya. Di sungai itu ada soang, yang gigit pantat eyangmu sampai berbekas hahahaha kalau sekarang ingat sih sudah jadi pengalaman lucu. Sekarang sudah kotor banget ya, jadi inget Uti. Nanti kalau kamu sudah besar hal-hal yang mungkin kamu anggap sial mungkin akan jadi pengalaman lucu untuk dongeng anak-anakmu nduk.” Ada jarak waktu panjang di antaranya. “Dulu Listrik belum seperti sekarang, mobil-mobil juga masih minim keberadaannya. Kalau main ya di luar rumah, sekarang kan kebanyakan online.” Dari Ceritanya bisa aku simpulkan bahwa belum ada barang elektronik dalam bentukan blender, setrikaan, mesin cuci, dan barang-barang lain yang sudah kuanggap lazim.

Aku tidak bisa mengingat akan pernahkah Uti bercerita tentang Lampu? Even if she did, i could barely remember it.

Aku medapatkan overwhelming feelings ketika aku melihat lampu teplok di internet. Anehnya aku tidak pernah menanyakan atau bahkan terpikir untuk menanyakan tentang penerangan kepada orang-orang yang hidup sebelum aku. Sebenarnya papa, mama, akung dan uti sering menyelipkan hal-hal tentang teknologi dalam cerita-cerita mereka. Seperti bagaimana papa dan mama “pacaran” pada saat mereka kuliah, bagaimana Uti bercerita tentang andong di masanya, atau Akung yang bercerita ia pergi ke borobudur bersama teman-temannya naik sepada ketika ia muda dulu.

Tidak banyak yang aku tahu tentang lampu atau Listrik sebenarnya, hanya bisa membayangkan atau melihat foto-foto di internet.

Alina.